Sabtu, 28 Januari 2012

Rakyat Papua Inginkan Sama Rata Sama Rasa




 “Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi para penindas yang menindas kami” ini adalah kata-kata yang terdapat dalam sebuah buku bertemakan rakyat papua mencari keadilan. Jika kita tafsirkan kalimat ini merupakan suatu kekecewaan yang berlarut-larut yang membuat rakyat Papua  ingin merdeka terbebas dari segala ikatan yang mengekang mereka. Apabila kita lihat dari latar belakang bangsa ini yang mengunakankan falsafah pancasila, terutama sila yang kelima yang berbunyi “keadilan bagi bagi seluruh rakyat Indonesia” kurang terterapkan bagi rakyat Papua. Bagi rakyat Papua keadilan hanya bagi Masyarakat Jawa, keadilan hanyalah bagi Masyarakat Jakarta, Keadilan hanyalah bagi para pejabat pemerintah pusat dan orang-orang luar yang menikmati kekayaan alam di wilayah Papua, sedangkan bagi mereka keadilan hanyalah sebuah khayalan belaka. Hal ini wajar saja  jika dilihat dari sudut pandang masyarakat Papua karena mereka yang merasakan dan menyaksikan sendiri.
Rakyat Papua melihat bahwa kekakayaan tanah mereka hanya bisa dinikmati oleh orang-orang asing, para pejabat pemerintah dan masyarakat yang bukan orang Papua asli. Pada tahun 1962 ketika  Presiden Amerika Serikat Jhon F Kennedy  bertemu dengan Wakil Belanda, ia mengatakan bahwa Papua Barat Bukanlah negeri yang pantas diurusi kekuatan-kekuatan besar didunia. Selain itu ia pernah mengatakan  kepada Dr. Van Roijen yang saat itu menjabat  Duta Besar Belanda di Amerika, “orang-orang Papuamu hanya berjumlah 700. 000 dan masih hidup dizaman batu”. Pernyataan ini  mungkin bisa kita terima karena Jhon F Kennedy melontarkan penyataan ini pada tahun 1962. Kalau dianalisa pernyataan Kennedy yang pertama tidak lah benar, ini hanyalah sebuah strategi yang mapan bagi Amerika Serikat yang mempunyai maksud lain yaitu Ekonomi. Pada saat itu Amerika membantu pemerintah Indonesia dalam penyelesain  masalah Irian Barat dengan Belanda, dan setelah beberapa waktu berselang setelah Irian Barat Bergabung  Ke Indonesia Pihak Amerika pun mendapat suatu peruntungan yang besar yaitu dengan didirikannya PT Freeport  yang untung berkali-kali lipat bagi Amerika sendiri. Sampai sekarang ini Amerika pun masih memegang Kendalinya.
Buktinya saja dari tiga dekade yang lalu Amerika mempunyai Andil yang besar mengendalikan pemerintah Indonesia terutama sekali yang menyangkut masalah PT. Freeport. Baru baru ini perdana mentri Pertahanan Amerika yang melakukan suatu pertemuan di Bali dengan Menteri Pertahan Indonesia bisa jadi membahas tentang keselamatan PT Freeport yang merupakan sumber pendapatan yang luar biasa besar bagi Amerika Serikat. Maka Amerika harus mengambil tindakan untuk hal ini. Ini berarti negara Papua dari dekade yang lalu telah diurusi oleh kekuatan-kekuatan besar yaitu Amerika itu Sendiri.    
Apabila dilihat dari kontek sekarang rakyat Papua yang dianggap masih hidup dizaman batu tidaklah tepat. Mereka orang Papua sudah banyak yang menjadi orang-orang yang Intelektual. Mayoritas mahasiswa dari Papua telah banyak tersebar diberbagai perguruan  Tinggi di Indonesia, mayoritas mereka menuntut Ilmu di Universitas-universitas yang ada di Jawa. Seperti di Institut Teknologi Dalam Negeri (IPDN) dan Univesitas Padjajaran, Universitas Gaja Mada dan lain-lain. Mereka yang dulu dianggap terbelakang dalam bidang pendidikan kinipun sudah setara dengan masyarakat Indonesia lainnya. mereka-mereka yang berpendidikan ini sudah menyadari bahwa pemerintah tidak adil terhadap masyarakat papua. Karena mereka melihat pembangunan ditempat mereka menuntut Ilmu teruatam didaerah Jawa jauh pangggang dari api apabila dibandingkan dengan tempat mereka bermukim yaitu tanah Papua. Mereka melihat berbagai ketimpangan baik dalam bidang fasilitas publik maupun sarana dan prasarana lainya.
Menyoroti betapa daerah yang kaya ini belum memberikan kedamaian dan kemakmuran bagi penduduk beretnis Papua. Rakyat Papua bagaikan “Tak putus dirundung malang”’ diabaikan oleh pemerintah Kolonial Belanda, dan pemerintah Indonesia. “pendekatan Keamanan” yang hanya memfokuskan aspek stabilitas telah banyak menyengsarakan rakyat dan menimbulkan trauma yang begitu mendalam dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendekatan keamanan ini bertentangan dengan pendekatan “kemanan Manusia” dalam konsepnya yang baru, yang memberikan ruang gerak yang sangat besar bagi warga negara untuk hidup tenang, dapat berkreasi secara bebas, dapat mengembangkan budaya lokalnya didalam kebhinekaan bangsa, dan bekehidupan agama yang bebas pula. Pendekatan keamanan yang begitu ketat pada masa era Orde Baru menimbulkan kebencian dan terus menimbulkan kebencian dan terus membangkitkan perasaan ingin merdeka di kalangan etnis Papua. Apa yang terjadi dimasa lalu dan sekarang, mudah-mudahan menjadi pelajaran yang amat berharga bagi pemerintah pusat, TNI dan Polri dalam mengatasi gerakan-gerakan pemerdekaan diri papua.
Pada tahun 2000 sampai memasuki 2001 gerakan OPM di Papua mulia aktif kembali. Hal ini terlihat dari banyaknya  pemberitaan di media lokal maupun Nasional, selang sepuluh tahun pada saat sekarang ini tahun 2011 gerakan Papua Merdeka kembali lagi memanas ditandai dengan serentetan penembakan terhadap warga, aparat PT Freeport Indonesia. Dan pada tanggal 19 oktober sekitar 200 peserta  Kongres Rakyat Papua (KRP) III dilapangan Zhakeus, Jayapura, Papua ditangkap aparat kemananan gabungan TNI dan polri karena mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora dan mendeklarasikan negara Papua Barat. Mengapa hal ini terjadi lagi ? apa yang menyebabkan hal ini terulang kembali ? sebuah pertanyaan yang menarik untuk dicari inti permasalahannya tetapi yang lebih penting adalah sebuah solusi yang dapat menyelesaikan semua permasalahan ini, solusi yang terbaik adalah suatu solusi yang bisa di Implementasikan bukan hanya sekedar teori.
Pada tahun 2000-2001 dari berbagai berita di media OPM diasiasikan sebagai kekuatan gerombolan bersenjata yang suka menculik, menyerang pos tentara atau patroli polisi, menyerang perusahaan-perusaahn kayu untuk mendapatkan pembekalan. Lebih buruk lagi adalah hampir sebagaian besar berita mengenai gejolak sosial di Papua selalu diasosiasikan sebagai bagian dari OPM. Akibatnya berbagai aktifitas rakyat Papua untuk menuntut keadilan dan perhatian yang lebih secara ekonomi politik dan sosial-budaya dinyatakan sebagai kehendak OPM dengan sendirinya menjadi separatis.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa berita mengenai  Organisasi Papua Merdeka (OPM) selalu negatif. Hal itu bisa terjadi oleh tiga sebab.. pertama, mungkin ketidakpahaman banyak repoter media mengenai Papua secara sosiologis dan historis sehingga berita yang dituliskan lebih banyak mewartakan apa yang terjadi dipermungkaan saja. Sebab, kedua, mungkin pemahaman itu ada namun ruang  untuk mengungkapkan terbatas akibat ketatnya pengawasan aparat keamanan atas hal-hal yang berbau OPM. Sebab ketiga adalah langkanya literarur mengenai Papua pada umumnya dan gerakan OPM pada khususnya dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana pengaruh dari berita yang kurang akurat adalah sikap yang diambil oleh Presiden RI Abdurahman Wahid, pada bulan maret 2001 yang, memerintahkan pembubaran organisasi OPM itu sekaligus dengan sayap militernya. Pemerintahan Abdurahman Wahid tentu aneh karena pertama OPM tidak pernah menjadi organisasi poltika terbuka dan resmi di Papua oleh karena itu langkah pembubarannya juga tidak mungkin bisa dilakukan. Kedua, kehadiran OPM tidak ditentukan oleh pengakuan resmi dari pemerintah melainkan oleh anggota-anggota dan pendukungnya sendiri yang tersebar dalam berbagai wilayah dan kelompok dengan segala keanekaragamannya dan dengan berbagai motivasi pula. Dengan demikian, OPM bukanlah barang yang padu melainkan sebuah organ perjuangan yang cair.   
Sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya bukan hanya persoalan antar Indonesia dan penduduk Papua melainkan juga persoalan yang menyangkut Internasional. ia bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat  dan pemerintah, antara pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antar gereja. Meski banyak negara termasuk Papua Nugini, Belanda, Australia dan Amerika Serikat tetap mendukung kedaulatan Indonesia atas Irian Jaya, namun belajar dari kasus Timor-Timur, jika terjadi peristiwa seperti kasus Santa Cruz Desember 1991 (Militer menembaki anak-anak muda dipekuburan santa Cruz di Dili), maka bukan mustahil akan terjadi Intervensi asing atas dasar “Humanitarian Intervention” untuk membantu kemerdekaan Papua.
Pemerintah harus mengambil tindakan yang bijaksana dalam menyikapi masalah Papua Barat.  Bahwa tidak semua persoalan di Papua bisa ditangani dengan mengedepankan aparat kemanan. Pendekatan secara diplomasi jauh efektif dibandingkan pendekatan kekerasan melalui aparat kemanan. Pemerintah pusat harus segera membuka diri bagi suatu dialog dengan masyarakat Papua dalam kerangaka evaluasi pelksaan UU no.21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus dan sekaligus pelurusan sejarah Papua. Pemerintah hendaknya menghentikan pernyataan-pernyataan sitigmatisasi (separatis, TPN, OPM, GPK, maker) dan sejenisnya yang dialamatkan kepada Masyarakat asli Papua dan sudah barang tentu opemerintah harus segera berlaku adilkepada masyarakat Papua seperti kepada rakyat Indoesia lainnya. Pada tanggal 18 oktober 2008, para pemimpin gereja ditanah Papua telah mengeluarkan pernyataan yaitu “ untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus menerus. Kami mengusulkan  agar masalah  PAPERA 1669 ini diselesaikan melalui dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas Masalah Papera ini yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betatapun sensitifnya, peersoalan papua perlu diselesaikan melalui dialog damai anatara pemerintah dan orang papua. Kami yakin melalui dialog damai, solusi damai akan ditemukan. Namun sampai saat ini dialog damai antara pemerintah pusat dengan para tokoh dari Papua belum terwujud. Pemerintah juga harus memahami budaya dan struktur sosial masyarakat untuk meminimalisir korban
Terakhir yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah yaitu kata-kata dari seorang tokoh elite Papua, Marcus Kaiseppo, yang mengatakan pada September 1945, “sekarang adalah zaman kemerdekaan. Bangsa Papua dan bangsa Indonesia sama rendah dan berdiri sama tinggi. Bangsa Indonesia jangan memonopoli jabatan dan kekayaan. Jika persolalan-persoalan itu masih ada, maka persoalan antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua  masih akan tetap ada”.


Wandra
Mahasiswa Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Angkatan 2009
Alamat Rumah : Gaduang Batu Jorong Tangah Padang, keluarahan Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok provinsi Sumatera Barat
Nomor Handphone : 082115160989