“Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah
yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi
para penindas yang menindas kami” ini adalah kata-kata yang terdapat dalam
sebuah buku bertemakan rakyat papua mencari keadilan. Jika kita tafsirkan
kalimat ini merupakan suatu kekecewaan yang berlarut-larut yang membuat rakyat
Papua ingin merdeka terbebas dari segala
ikatan yang mengekang mereka. Apabila kita lihat dari latar belakang bangsa ini
yang mengunakankan falsafah pancasila, terutama sila yang kelima yang berbunyi
“keadilan bagi bagi seluruh rakyat Indonesia” kurang terterapkan bagi rakyat
Papua. Bagi rakyat Papua keadilan hanya bagi Masyarakat Jawa, keadilan hanyalah
bagi Masyarakat Jakarta, Keadilan hanyalah bagi para pejabat pemerintah pusat
dan orang-orang luar yang menikmati kekayaan alam di wilayah Papua, sedangkan
bagi mereka keadilan hanyalah sebuah khayalan belaka. Hal ini wajar saja jika dilihat dari sudut pandang masyarakat
Papua karena mereka yang merasakan dan menyaksikan sendiri.
Rakyat Papua melihat
bahwa kekakayaan tanah mereka hanya bisa dinikmati oleh orang-orang asing, para
pejabat pemerintah dan masyarakat yang bukan orang Papua asli. Pada tahun 1962
ketika Presiden Amerika Serikat Jhon F
Kennedy bertemu dengan Wakil Belanda, ia
mengatakan bahwa Papua Barat Bukanlah
negeri yang pantas diurusi kekuatan-kekuatan besar didunia. Selain itu ia
pernah mengatakan kepada Dr. Van Roijen
yang saat itu menjabat Duta Besar
Belanda di Amerika, “orang-orang Papuamu
hanya berjumlah 700. 000 dan masih hidup dizaman batu”. Pernyataan ini mungkin bisa kita terima karena Jhon F Kennedy
melontarkan penyataan ini pada tahun 1962. Kalau dianalisa pernyataan Kennedy
yang pertama tidak lah benar, ini hanyalah sebuah strategi yang mapan bagi
Amerika Serikat yang mempunyai maksud lain yaitu Ekonomi. Pada saat itu Amerika
membantu pemerintah Indonesia dalam penyelesain
masalah Irian Barat dengan Belanda, dan setelah beberapa waktu berselang
setelah Irian Barat Bergabung Ke
Indonesia Pihak Amerika pun mendapat suatu peruntungan yang besar yaitu dengan
didirikannya PT Freeport yang untung
berkali-kali lipat bagi Amerika sendiri. Sampai sekarang ini Amerika pun masih
memegang Kendalinya.
Buktinya saja dari tiga
dekade yang lalu Amerika mempunyai Andil yang besar mengendalikan pemerintah
Indonesia terutama sekali yang menyangkut masalah PT. Freeport. Baru baru ini
perdana mentri Pertahanan Amerika yang melakukan suatu pertemuan di Bali dengan
Menteri Pertahan Indonesia bisa jadi membahas tentang keselamatan PT Freeport
yang merupakan sumber pendapatan yang luar biasa besar bagi Amerika Serikat.
Maka Amerika harus mengambil tindakan untuk hal ini. Ini berarti negara Papua
dari dekade yang lalu telah diurusi oleh kekuatan-kekuatan besar yaitu Amerika
itu Sendiri.
Apabila dilihat dari
kontek sekarang rakyat Papua yang dianggap masih hidup dizaman batu tidaklah
tepat. Mereka orang Papua sudah banyak yang menjadi orang-orang yang
Intelektual. Mayoritas mahasiswa dari Papua telah banyak tersebar diberbagai
perguruan Tinggi di Indonesia, mayoritas
mereka menuntut Ilmu di Universitas-universitas yang ada di Jawa. Seperti di
Institut Teknologi Dalam Negeri (IPDN) dan Univesitas Padjajaran, Universitas
Gaja Mada dan lain-lain. Mereka yang dulu dianggap terbelakang dalam bidang
pendidikan kinipun sudah setara dengan masyarakat Indonesia lainnya. mereka-mereka
yang berpendidikan ini sudah menyadari bahwa pemerintah tidak adil terhadap
masyarakat papua. Karena mereka melihat pembangunan ditempat mereka menuntut
Ilmu teruatam didaerah Jawa jauh pangggang dari api apabila dibandingkan dengan
tempat mereka bermukim yaitu tanah Papua. Mereka melihat berbagai ketimpangan
baik dalam bidang fasilitas publik maupun sarana dan prasarana lainya.
Menyoroti betapa daerah
yang kaya ini belum memberikan kedamaian dan kemakmuran bagi penduduk beretnis
Papua. Rakyat Papua bagaikan “Tak putus dirundung malang”’ diabaikan oleh
pemerintah Kolonial Belanda, dan pemerintah Indonesia. “pendekatan Keamanan”
yang hanya memfokuskan aspek stabilitas telah banyak menyengsarakan rakyat dan
menimbulkan trauma yang begitu mendalam dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pendekatan keamanan ini bertentangan dengan pendekatan “kemanan
Manusia” dalam konsepnya yang baru, yang memberikan ruang gerak yang sangat
besar bagi warga negara untuk hidup tenang, dapat berkreasi secara bebas, dapat
mengembangkan budaya lokalnya didalam kebhinekaan bangsa, dan bekehidupan agama
yang bebas pula. Pendekatan keamanan yang begitu ketat pada masa era Orde Baru
menimbulkan kebencian dan terus menimbulkan kebencian dan terus membangkitkan
perasaan ingin merdeka di kalangan etnis Papua. Apa yang terjadi dimasa lalu
dan sekarang, mudah-mudahan menjadi pelajaran yang amat berharga bagi
pemerintah pusat, TNI dan Polri dalam mengatasi gerakan-gerakan pemerdekaan
diri papua.
Pada tahun 2000 sampai
memasuki 2001 gerakan OPM di Papua mulia aktif kembali. Hal ini terlihat dari
banyaknya pemberitaan di media lokal
maupun Nasional, selang sepuluh tahun pada saat sekarang ini tahun 2011 gerakan
Papua Merdeka kembali lagi memanas ditandai dengan serentetan penembakan
terhadap warga, aparat PT Freeport Indonesia. Dan pada tanggal 19 oktober sekitar
200 peserta Kongres Rakyat Papua (KRP) III
dilapangan Zhakeus, Jayapura, Papua ditangkap aparat kemananan gabungan TNI dan
polri karena mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora dan mendeklarasikan
negara Papua Barat. Mengapa hal ini terjadi lagi ? apa yang menyebabkan hal ini
terulang kembali ? sebuah pertanyaan yang menarik untuk dicari inti
permasalahannya tetapi yang lebih penting adalah sebuah solusi yang dapat
menyelesaikan semua permasalahan ini, solusi yang terbaik adalah suatu solusi
yang bisa di Implementasikan bukan hanya sekedar teori.
Pada tahun 2000-2001
dari berbagai berita di media OPM diasiasikan sebagai kekuatan gerombolan
bersenjata yang suka menculik, menyerang pos tentara atau patroli polisi,
menyerang perusahaan-perusaahn kayu untuk mendapatkan pembekalan. Lebih buruk
lagi adalah hampir sebagaian besar berita mengenai gejolak sosial di Papua
selalu diasosiasikan sebagai bagian dari OPM. Akibatnya berbagai aktifitas
rakyat Papua untuk menuntut keadilan dan perhatian yang lebih secara ekonomi
politik dan sosial-budaya dinyatakan sebagai kehendak OPM dengan sendirinya menjadi
separatis.
Secara garis besar bisa
dikatakan bahwa berita mengenai Organisasi Papua Merdeka (OPM) selalu negatif.
Hal itu bisa terjadi oleh tiga sebab.. pertama, mungkin ketidakpahaman banyak
repoter media mengenai Papua secara sosiologis dan historis sehingga berita
yang dituliskan lebih banyak mewartakan apa yang terjadi dipermungkaan saja.
Sebab, kedua, mungkin pemahaman itu ada namun ruang untuk mengungkapkan terbatas akibat ketatnya
pengawasan aparat keamanan atas hal-hal yang berbau OPM. Sebab ketiga adalah
langkanya literarur mengenai Papua pada umumnya dan gerakan OPM pada khususnya
dalam bahasa Indonesia.
Bagaimana pengaruh dari
berita yang kurang akurat adalah sikap yang diambil oleh Presiden RI Abdurahman
Wahid, pada bulan maret 2001 yang, memerintahkan pembubaran organisasi OPM itu
sekaligus dengan sayap militernya. Pemerintahan Abdurahman Wahid tentu aneh
karena pertama OPM tidak pernah menjadi organisasi poltika terbuka dan resmi di
Papua oleh karena itu langkah pembubarannya juga tidak mungkin bisa dilakukan.
Kedua, kehadiran OPM tidak ditentukan oleh pengakuan resmi dari pemerintah
melainkan oleh anggota-anggota dan pendukungnya sendiri yang tersebar dalam
berbagai wilayah dan kelompok dengan segala keanekaragamannya dan dengan
berbagai motivasi pula. Dengan demikian, OPM bukanlah barang yang padu
melainkan sebuah organ perjuangan yang cair.
Sejak dulu hingga kini,
persoalan Irian Jaya bukan hanya persoalan antar Indonesia dan penduduk Papua
melainkan juga persoalan yang menyangkut Internasional. ia bukan hanya
mengaitkan hubungan antar masyarakat dan
pemerintah, antara pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antar gereja. Meski
banyak negara termasuk Papua Nugini, Belanda, Australia dan Amerika Serikat
tetap mendukung kedaulatan Indonesia atas Irian Jaya, namun belajar dari kasus
Timor-Timur, jika terjadi peristiwa seperti kasus Santa Cruz Desember 1991
(Militer menembaki anak-anak muda dipekuburan santa Cruz di Dili), maka bukan
mustahil akan terjadi Intervensi asing atas dasar “Humanitarian Intervention”
untuk membantu kemerdekaan Papua.
Pemerintah harus
mengambil tindakan yang bijaksana dalam menyikapi masalah Papua Barat. Bahwa tidak semua persoalan di Papua bisa
ditangani dengan mengedepankan aparat kemanan. Pendekatan secara diplomasi jauh
efektif dibandingkan pendekatan kekerasan melalui aparat kemanan. Pemerintah
pusat harus segera membuka diri bagi suatu dialog dengan masyarakat Papua dalam
kerangaka evaluasi pelksaan UU no.21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus dan
sekaligus pelurusan sejarah Papua. Pemerintah hendaknya menghentikan
pernyataan-pernyataan sitigmatisasi (separatis, TPN, OPM, GPK, maker) dan
sejenisnya yang dialamatkan kepada Masyarakat asli Papua dan sudah barang tentu
opemerintah harus segera berlaku adilkepada masyarakat Papua seperti kepada
rakyat Indoesia lainnya. Pada tanggal 18 oktober 2008, para pemimpin gereja ditanah
Papua telah mengeluarkan pernyataan yaitu “ untuk mencegah segala bentuk
kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus menerus. Kami
mengusulkan agar masalah PAPERA 1669 ini diselesaikan melalui dialog
damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas
Masalah Papera ini yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betatapun
sensitifnya, peersoalan papua perlu diselesaikan melalui dialog damai anatara
pemerintah dan orang papua. Kami yakin melalui dialog damai, solusi damai akan ditemukan.
Namun sampai saat ini dialog damai antara pemerintah pusat dengan para tokoh
dari Papua belum terwujud. Pemerintah juga harus memahami budaya dan struktur
sosial masyarakat untuk meminimalisir korban
Terakhir yang harus
dipertimbangkan oleh pemerintah yaitu kata-kata dari seorang tokoh elite Papua,
Marcus Kaiseppo, yang mengatakan pada September 1945, “sekarang adalah zaman kemerdekaan.
Bangsa Papua dan bangsa Indonesia sama rendah dan berdiri sama tinggi. Bangsa
Indonesia jangan memonopoli jabatan dan kekayaan. Jika persolalan-persoalan itu
masih ada, maka persoalan antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua masih akan tetap ada”.
Wandra
Mahasiswa Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
Angkatan 2009
Alamat Rumah : Gaduang
Batu Jorong Tangah Padang, keluarahan Cupak, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten
Solok provinsi Sumatera Barat
Nomor Handphone :
082115160989